Risiko wartawan di medan perang

Menjadi wartawan/jurnalis perang merupakan pilihan individu setiap orang dengan segala konsekuensinya. Semestinya mereka sudah tahu apa risiko terberat melakoni profesi dan pilihan hidup penuh bahaya itu.  Oleh karenanya keluarga mereka pun pada umumnya sudah ikhlas akan anak-anaknya jika tterjadi sesuatu yang tidak di inginkan (terbunuh/tertembak). Tak ada lagi tangis berlebihan melepas anggota keluarganya yang tewas mengenaskan.
Lantas, apa yang sebenarnya mereka cari ? atau hanya sebuah harapan menjadi jurnalis adalah panggilan jiwa saja. Profesi mulia karena menjalankan fungsi pers, memberikan laporan peristiwa-peristiwa yang terjadi di mana saja untuk kepentingan publik. Tidak hanya sekadar hard news, tapi juga karya jurnalistik lainnya, seperti soft news, feature, indept news, news analysis, investigative reporting, photo executive dll.
Yang namanya profesi pada umumnya mereka bekerja berdasarkan hati nurani. Para jurnalis menjaga sikap profesionalisme dan menaati kode etik jurnalistik sehingga dipastikan liputan dan berita-berita yang disiarkannya sudah memenuhi syarat, terutama verifikasi data dan keseimbangan (cover both sides).
Apalagi menjadi wartawan perang harusnya memiliki persyaratan ekstra. Apa itu? Kemampuan fisik dan teknik melakukan reporting di medan yang tidak biasa. Sehingga tidak semua jurnalis boleh meliput konflik di sejumlah daerah atau negara. Risikonya bisa cedera berat hingga tewas.
Wartawan-di-Pakistan-(slate)
Salah satu contoh wartawan malang yang menemui kematiannya saat meliput berita adalah Hayatullah Khan. Ia merupakan wartawan Freelance di Miran Shah. Khan diculik oleh lima orang bersenjata pada bulan Desember 2005. Tubuhnya diborgol dan ditembak beberapa kali, setelah 6 bulan kemudian.
Memang banyak tantangan buat jurnalis perang. Selalu ada masalah dihadapinya, yaitu pihak-pihak yang berkonflik dan bertempur untuk saling membunuh dan mengalahkan. Itu sebabnya menjadi jurnalis idealis saja sudah identik dengan menyerempet bahaya. Beragam risiko selalu menanti mereka karena keberpihakannya pada wong cilik. Apalagi buat jurnalis perang. Risikonya bisa 10 kali lipat. Tapi, itulah pilihan, panggilan jiwa. Menjadi wartawan perang memang tidak seindah jadi wartawan infotainment atau seenak wartawan olahraga.. Resiko terbesarnya adalah nyawa satu-satunya yang dipertaruhkan. Bayangkan saja saat melakukan peliputan di negara-negara konflik tersebut. Wartawan pun mesti punya strategis atau keputusan yang tepat jika menghadapi situasi yang sulit untuk dilakukan. Sayang, apabila banyak jurnalis saat ini tidak punya pengetahuan tentang bagaimana dan apa yang harus dilakukan di daerah konflik ketika ada masalah yang terjadi pada dirinya, seperti di sandera atau ketika ia melihat korban tertembak. Apa yang harus dilakukan oleh seorang wartawan/reporter/kameramen dalam situasi seperti itu.

Menurut hasil penelitian, selama ini banyak media dari salah satu TV Swasta disetiap negara mayoritas memberangkatkan wartawannya untuk bertugas ke garis depan peliputan berbahaya seperti kerusuhan massal, bencana, perang dan lainnya hanya dengan pengarahan singkat dan pembekalan seadanya.

Terutama, pembekalan mental dan pengetahuan bertahan hidup (survival) yang sangat minim. Padahal dalam liputan berbahaya semacam itu, media maupun wartawan sudah harus menghitung semua resiko dan memastikan bahwa wartawan tersebut bisa pulang dengan berita eksklusif dan tetap hidup.

Tidak ada komentar

Ads